Selamat Datang Di Evert Max Tentua`s Blog..Terima Kasih Atas Kunjungannya!

Monday 20 June 2011

SEKILAS PANDANG TENTANG PEMBUKAAN RUTE PENERBANGAN

Suatu perusahaan penerbangan akan dapat mengoperasikan pesawat udaranya ke atau dari ataupun di negara lain haruslah terlebih dahulu telah melakukan perjanjian dengan negara yang akan dituju.
Dengan demikian yang melakukan perjanjian yaitu negara dengan negara dan bukan perusahaan penerbangan dengan negara yang akan dituju.
Tetapi sebelum pengoperasian, menurut Pasal 17, Pasal 20 dan Annex 7 Konvensi Chicago 1944 menyebutkan bahwa pesawat udara harus terlebih dahulu untuk didaftarkan di suatu negara untuk memperoleh tanda kebangsaan dan nomer registrasi.
Pasal 18 Konvensi Chicago 1944 menyebutkan tidak mengatur tentang persyaratan pendaftaran pesawat udara, hanya mengatur tentang pelarangan pendaftaran pesawat udara pada lebih dari satu negara, dan hal ini berarti menganut sistim pendaftaran tunggal (single registration system) yaitu pendaftaran pesawat udara diserahkan kepada hukum nasional masing-masing negara anggota I.C.A.C. (International Civil Aviation Commission).
Dengan demikian tiap-tiap negara bebas menentukan persyaratan pendaftaran dan kebangsaan pesawat udara sesuai dengan hukum nasionalnya masing-masing.
Di negara Indonesia diatur dalam Pasal 25 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan yang menyebutkan mengenai persyaratan dari kebangsaan suatu pesawat udara yaitu :
1. Tidak terdaftar di negara lain.
2. Dimiliki oleh warga negara Indonesia atau dimiliki oleh badan hukum Indonesia.
3. Dimiliki oleh warga negara asing atau badan hukum asing dan dioperasikan oleh warga negara Indonesia atau badan hukum Indonesia untuk jangka waktu pemakaiannya minimal 2 tahun secara terus-menerus berdasarkan suatu perjanjian.
4. Dimiliki oleh instansi pemerintah atau pemerintah daerah, dan pesawat udara
tersebut tidak dipergunakan untuk misi penegakan hukum.
5. Dimiliki oleh warga negara asing atau badan hukum asing yang pesawat udaranya dikuasai oleh badan hukum Indonesia berdasarkan suatu perjanjian yang tunduk pada hukum yang disepakati para pihak untuk kegiatan penyimpanan, penyewaan dan atau perdagangan pesawat udara.
Perjanjian membuka rute penerbangan antar negara tersebut berbentuk bilateral, seperti yang diatur di dalam I.A.T.A. (International Air Transport Agreement), sedangkan di negara Indonesia diatur dalam Pasal 87 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan yang menyebutkan bahwa penetapan jaringan dan rute penerbangan internasional diatur oleh pemerintah berdasarkan perjanjian antar negara.
Perjanjian bilateral tentang membuka rute penerbangan internasional atau yang biasa disebut dengan istilah B.A.T.A. (Bilateral Air Transport Agreement) diatur dan disusun berdasarkan standart internasional yang terdiri dari hak dan kewajiban yang harus dilaksanakan oleh kedua negara yang meliputi :
1. Penunjukan perusahaan penerbangan.
Artinya negara hanya berhak menunjuk perusahaan penerbangan nasionalnya untuk melayani rute internasional, yang biasanya di negara-negara berkembang penunjukan perusahaan penerbangan dilakukan dengan penunjukan tunggal (single designated airlnes), karena belum banyak memiliki perusahaan penerbangan.
Misalnya negara Indonesia dapat menunjuk perusahaan penerbangan Garuda Indonesia, Merpati Nusantara Airlines, Mandala atau Pelita Airlines, dan negara Timor Leste dapat menunjuk perusahaan penerbangan Timor Air.
2. Jumlah kapasitas penumpang.
Artinya jumlah penumpang yang boleh diangkut sesuai dengan kesepakatan yang pada umumnya ditentukan terlebih dahulu dengan :
a. Jenis pesawat udara yang akan digunakan.
b. Waktu pemberangkatan.
3. Tarif angkutan udara.
Artinya harga angkutan udara harus dilakukan persetujuan oleh kedua pemerintah yang bersangkutan agar terjadi keseragaman tarif.
Hampir semua penerbangan di dunia mendapat subsidi dari pemerintahnya yaitu hanya untuk kelas ekonomi dan sedangkan untuk kelas bisnis dan V.I.P. (Very Important Person) ditentukan oleh harga pasaran.
4. Rute penerbangan.
Artinya rute yang akan dituju harus ditetapkan secara ketat untuk melindungi perusahaan penerbangan nasional terhadap persaingan dengan perusahaan penerbangan asing.
Misalnya Garuda Indonesia mendapat rute penerbangan dari Jakarta ke Amsterdam, sedangkan K.L.M. (Konenklijk Lucht Maatschapij) meminta rute penerbangan dari Amsterdam ke Jakarta dan berakhir di Denpasar, dan keadaan ini jelas merugikan Indonesia.
Pada umumnya B.A.T.A. ditanda tangani atas pertimbangan komersial untuk memperoleh devisa bagi negara, tetapi dalam hal tertentu pula B.A.T.A. dapat ditanda tangani atas pertimbangan antara lain :
1. Keamanan negara yaitu untuk menghindari kecurigaan sebagai penerbangan mata-mata.
Contoh : Perjanjian negara Indonesia dengan negara Rusia (d/h Uni Soviet) yang menyebutkan pesawat udara Indonesia dilarang melintasi wilayah udara Uni Soviet tanpa mendarat.
2. Karena hutang yaitu akibat hutang yang besar, maka sebagai pembayaran hutang tersebut terpaksa menanda tangani B.A.T.A. yang menguntungkan pihak pemberi hutang.
Contoh : Perjanjian Bermuda I (1946) antara negara Inggris dengan Amerika Serikat, karena Inggris hutang untuk membangun negaranya yang hancur akibat Perang Dunia II dengan pembayaran pemberian hak penerbangan kepada Amerika Serikat.
3. Perdagangan yaitu pemberian hak penerbangan kepada negara lain agar perdagangan dapat dilanjutkan.
Contoh : Negara-negara Eropa mengancam akan membatalkan pembelian pesawat udara buatan Amerika Serikat apabila Amerika Serikat meminta pengurangan frekuensi penerbangan dari perusahaan penerbangan negara-negara Eropa khususnya perusahaan penerbangan K.L.M. (Belanda).
4. Prestise yaitu untuk menunjukkan jati diri kepada masyarakat dunia akan keberadaannya sebagai negara yang baru merdeka.
Contoh : Seperti yang dilakukan negara Indonesia pada tahun 1950 yaitu dengan melakukan penerbangan internasional ke Singapura dengan menggunakan pesawat jenis Convair CV-440, sedangkan negara-negara lain baru memiliki DC-3 Dakota sisa-sisa Perang Dunia II.
5. Politik yaitu untuk menunjukkan rasa solidaritas antar negara.
Contoh : Pembukaan rute penerbangan Jakarta-Saigon (Vietnam), apabila dilihat dari segi ekonomi tidak menguntungkan karena jumlah penumpang dengan biaya operasionalnya tidak imbang.
DAFTAR PUSTAKA
1. E. Suherman., SH., Hukum Udara Indonesia Dan Internasional, Bandung : Alumni, 1983.
2. ________________, Wilayah Udara Dan Wilayah Dirgantara, Bandung : Alumni, 1984.
3. Evert Maximiliaan Tentua, SH. Mhum., Hukum Dirgantara Dalam Perkembangan Dan Permasalahannya, Semarang : I.L.S., 2009.
4. Martono., K., SH., Hukum Udara, Angkutan Udara Dan Hukum Angkasa, Bandung : Alumni, 1989.
5. ________________ LLM., Hukum Udara, Angkutan Udara Dan Hukum Angkasa, Hukum Laut Internasional, Bandung : CV. Mandar Maju, 1995.
6. ______________________., Perjanjian Angkutan Udara Di Indonesia, Bandung : Mandur Maju, 1996.
7. ______________________, Dr., Pengantar Hukum Udara Nasional Dan Internasional, Bagian Pertama, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2007.
8. Konvensi Chicago 1944.
9. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan.


--------- max ---------

Read more...

Sunday 19 June 2011

MENETAPKAN BATAS KEDAULATAN WILAYAH UDARA

PENDAHULUAN
Sudah menjadi kodrat manusia bahwa di dalam kehidupannya ingin selalu menuju ke arah atas, misalnya ingin naik pangkat, kalangan atas, peringkat atas, dan lain-lain, begitu pula apabila manusia melihat burung yang sedang terbang di udara, secara tidak sadar manusia berkeinginan pula untuk dapat terbang seperti burung, dan keinginan ini sering diwujudkan dalam bentuk cerita manusia super yang dapat terbang, contoh seperti Gatotkaca, Superman, dan begitu besarnya keinginan manusia untuk dapat terbang, maka burung-burung jenis tertentu dijadikan lambang baik itu digunakan dalam suatu lembaga atau digunakan untuk suatu negara contoh seperti negara Amerika Serikat dengan burung rajawali, negara Indonesia dengan burung garuda atau seperti negara Papua Nugini dengan burung cendrawasih.
Untuk mencapai cita-cita manusia tersebut, maka manusia berusaha dengan melalui beberapa cara dan usaha ini berlangsung terus sampai sekarang, dan hal ini dapat terlihat dalam buku sejarah penerbangan seperti kisah Daedalus dan putranya Icarus dalam usahanya melarikan diri dari pulau Kreta (Yunani) dengan membuat sayap-sayap yang terbuat dari lilin dan dilengkapi bulu-bulu burung yang bentuknya meniru sayap burung.
Usaha untuk manusia dapat terbang juga dilakukan oleh seorang sarjana Inggris yang bernama Roger Bacon (1220-1292) yang mengatakan bahwa udara di sekitar kita seperti halnya lautan, oleh karena itu untuk dapat mengambang perlu adanya kantong udara (balon) seperti kapal di atas air, dan kantong udara tersebut harus diisi dengan gas eter.
Usaha untuk manusia dapat terbangpun tidak saja menjadi cita-cata para ilmuawan saja tetapi menjadi cita-cita seluruh umat manusia seperti seniman besar yaitu Leonardo da Vinci yang menciptakan rancangan “ornithopter”. Begitu pula bagi seorang pengusaha kertas yang berkebangsaan Perancis yaitu Joseph Montgolfier yang membuat kantong udara dan diisi dengan asap yang akhirnya dapat mengambang diudara.
Setelah diketemukan kantong udara, maka oleh seorang berwarga negara Jerman yaitu Von Zeppelin (1838-1917) membuat balon udara yang bermesin dan berhasil diterbangkan yang akhirnya digunakan sebagai alat transportasi.

Ditemukan kantong udara (balon) untuk menerbangkan manusia berhasil, maka teknologi balon udara mengalami perkembangan sangat pesat yaitu sejak digunakan sebgai alat transportasi penumpang dan pos yang akhirnya digunakan untuk kepentingan militer yaitu sebagai alat angkut militer termasuk sebagai alat spionase (mata-mata).
Pada tahun 1900 Wright Brother (Wilbur Wrights, Orville Wrights) yang berkebangsaan Amerika Serikat adalah orang pertama yang membuat dan berhasil
menerbangkan pesawat udara bermesin
yang akhirnya dilakukan penyempurnaan oleh para ahli teknologi penerbangan di seluruh dunia sampai sekarang ini,

Doc : Garuda Indonesia. Doc : TNI-AU.
dan hal ini memacu para ahli hukum untuk secepatnya membuat dasar-dasar hukum yang dapat digunakan untuk mengatur ruang udara.
Setelah manusia mengetahui bahwa balon udara atau pesawat udara memiliki manfaat yang bukan sebagai alat angkutan biasa tetapi dapat digunakan sebagai alat angkut militer, maka beberapa ahli hukum berpendapat sudah saatnya untuk segera membuat ketentuan-ketentuan hukum untuk mengatur udara, karena ruang udara dapat digunakan untuk merugikan negara lain.
PERMASALAHAN
Permasalahan yang paling sulit dihadapi oleh para ahli hukum tersebut adalah mengenai dapat atau tidaknya ruang udara dimiliki oleh negara bawah ?
KEDAULATAN WILAYAH UDARA
Untuk membuat ketentuan-ketentuan hukum udara, maka para ahli hukum menggali hukum-hukum lama yang pernah berlaku yang berhubungan dengan ruang udara dan akhirnya diketemukannya suatu maxim (ketentuan lama) yang berlaku pada jaman Romawi yang menyebutkan “Cujus Est Solum Ejus Usque Ad Coelum Et Ad Infinitum” yang dapat diartikan barang siapa memiliki sebidang tanah, maka juga memiliki pula apa yang ada diatasnya dan juga yang ada dibawahnya serta tidak terbatas.
Maxim tersebut menimbulkan suatu perbedaan pendapat yang hangat di antara para ahli hukum seperti :
1. Paul Fauchille (1858-1926) dengan teorinya Air Freedom Theory menyebutkan bahwa ruang udara itu bebas dan oleh karena itu tidak dapat dimiliki oleh negara bawah.
Teori Paul Fauchille tersebut didasari oleh karena :
a. Sifat udara adalah bebas.
b. Udara adalah warisan seluruh umat manusia.
2. West Lake dengan teorinya Air Sovereignty Theory menyebutkan bahwa ruang udara itu tertutup yang berarti dapat dimiliki oleh setiap negara bawah.
Untuk menyelesaikan masalah kedaulatan wilayah udara tersebut, maka pada tahun 1910 diadakan konperensi internasional (The International Conference on Air Navigation) di kota Paris (Perancis) yang hanya dihadiri oleh 3 negara yaitu negara Inggris, Jerman dan Perancis.
Delegasi negara Inggris mengusulkan bahwa negara memiliki kedaulatan penuh terhadap ruang udara yang ada diatasnya, delegasi negara Jerman mengusulkan bahwa negara memiliki kedaulatan penuh terhadap ruang udara yang dapat dikuasainya, sedangkan delegasi negara Perancis mengusulkan bahwa ruang udara adalah bebas dengan memperhatikan akan kepentingan keamanan negara, penduduk dan harta benda, maka apabila dilihat usulan-usulan seperti tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa telah terjadi tidak adanya keseragaman pendapat di antara ke tiga negara yang akhirnya dapat disimpulkan bahwa konperensi tersebut mengalami kegagalan.
Berakhirnya Perang Dunia I, menimbulkan banyaknya negara-negara merasakan bahwa ruang udara yang ada di atas negaranya harus bersifat tertutup, karena dengan adanya pengalaman bahwa ruang udara dapat digunakan sebagai pintu masuk pesawat militer dengan mudah untuk menyerang.
Pada tahun 1919 kembali diadakan konperensi internasional di kota Paris (Perancis) yang dihadiri oleh 31 negara yang hadir dan menghasilkan suatu konvensi yaitu Convention Relating
to the Regulation of Aerial Navigation 1919 atau yang lebih dikenal dengan Konvensi Paris 1919.
Pada Pasal 1 Konvensi Paris 1919 disebutkan bahwa setiap negara anggota mengakui hak kedaulatan lengkap dan eksklusip di ruang udara di atas wilayahnya baik di darat, laut wilayah maupun di negara kolonial (jajahan) nya.
Konvensi ini mengalami kegagalan juga, karena belum mencapai jumlah ratifikasi seperti yang ditentukan, dan ini juga dikarenakan hanya negara-negara anggota Konvensi Paris 1919 saja yang diakui wilayah di ruang udara, sedangkan bagi negara-negara yang bukan anggota konvensi ini tidak diakui memiliki wilayah di ruang udara.
Untuk mengisi kekosongan hukum yang mengatur mengenai kedaulatan negara di ruang udara, maka pada tahun 1929 American Comunication Beaureau mengadakan pertemuan dan menghasilkan suatu kesepakatan bahwa mengakui setiap negara memiliki wilayah di ruang udara yang ada diatasnya.
Dengan adanya kesepakatan ini menyebabkan semua negara di dunia merasa memiliki kedaulatan di ruang udara, dan menjadikan ajaran Paul Fauchille dan Westlake sepenuhnya tidak dapat dipertahankan, karena setiap negara memiliki kedaulatan mutlak di ruang udara dengan memberikan kebebasan penerbangan.
Pada tahun 1944 diadakan konperensi internasional di kota Chicago (Amerika Serikat) yang dihadiri oleh beberapa negara seperti sebagai berikut :
NO. NAMA NEGARA NO. NAMA NEGARA NO. NAMA NEGARA NO. NAMA NEGARA NO. NAMA NEGARA
1. Afgabistan 11. Dominika 21. Iran 31. Mesir 41. Portugal
2. Afrika Selatan 12. Ekuador 22. Irlandia 32. Mexiko 42. Selandia Baru
3. Amerika Serikat 13. El Salvador 23. Islandia 33. Nikaragua 43. Swedia
4. Australia 14. Ethopia 24. Kanada 34. Norwegia 44. Swiss
5. Belanda 15. Guatemala 25. Kolombia 35. Panama 45. Syria
6. Belgia 16. Haiti 26. Kosta Rika 36. Paraguay 46. Turki
7. Bolivia 17. Honduras 27. Kuba 37. Perancis 47. Uruguay
8. Brasil 18. India 28. Libanon 38. Peru 48. Venezuela
9. Chile 19. Inggris 29. Liberia 39. Philipina 49. Yugoslavia
10. Chekoslovakia 20. Irak 30. Luxemburg 40. Polandia 50. Yunani
dan menghasilkan Konvensi Chicago 1944.
Pasal 1 Konvensi Chicago 1944 menyebutkan bahwa setiap negara memiliki kedaulatan lengkap dan eksklusip di ruang udara yang ada di atas wilayahnya.
Dengan demikian Konvensi Chicago 1944 mengakui setiap negara di dunia baik itu negara anggota maupun tidak tetap memiliki kedaulatan di ruang udara yang ada di atas wilayahnya.
BATAS KEDAULATAN WILAYAH UDARA
Apabila mempelajari Konvensi Chicago 1944 maka terlihat bahwa tidak ada satupun pasal yang mengatur mengenai batas wilayah udara yang dapat dimliki oleh suatu negara bawah baik secara horisontal maupun secara vertikal.
Untuk mengisi kekosongan hukum tersebut, hukum internasioal memberikan kepada para sarjana terkemuka untuk menggali dan mencari konsep-konsep hukum yang dapat digunakan sebagai landasan hukum.
1. BATAS KEDAULATAN WILAYAH UDARA SECARA HORISONTAL
Seperti telah diketahui bahwa batas wilayah darat suatu negara adalah berdasarkan perjanjian dengan negara-negara tetangga, dan dengan demikian setiap negara memiliki batas kedaulatan di wilayah udara secara horisontal adalah sama dengan seluas wilayah darat negaranya, sedangkan negara yang berpantai batas wilayah negara akan bertambah yaitu dengan adanya ketentuan hukum yang diatur di dalam Article 3 United Nations Convention on the Law Of the Sea (1982) yang menyebutkan setiap negara pantai dapat menetapkan lebar laut wilayahnya sampai maksimum 12 mil laut yang diukur dari garis pangkal (base line).
Gambar : Batas wilayah udara secara horisontal :
Yaitu dengan cara luas daratan yang berdasarkan perjanjian perbatasan dengan negara tetangga dan ditambah dengan Pasal 3 Konvensi Hukum Laut 1982.
Begitu pula dalam hal apabila laut wilayah yang berdampingan atau berhadapan dengan milik negara tetangga yang kurang dari 2 x 12 mil laut, maka penyelesaian masalah batas wilayah udara secara horisontal adalah melalui perjanjian antar negara tetangga seperti halnya dalam hukum laut internasional.
Tetapi ada beberapa negara seperti Amerika Serikat dan Kanada mengajukan secara sepihak untuk menetapkan jalur tambahan (contiguous zone) di ruang udara yang dikenal dengan istilah A.D.I.Z. (Air Defence Identification Zone) yaitu setiap pesawat udara yang terbang menuju negara Amerika Serikat atau Kanada dalam jarak 200 mil harus menyebutkan jati diri pesawat udara.
Hal ini dilakukan untuk keamanan negara dari bahaya yang datang melalui ruang udara.
2. BATAS KEDAULATAN WILAYAH UDARA SECARA VERTIKAL
Untuk menentukan batas kedaulatan di wilayah udara secara vertikal masih tetap menjadi permasalahan sampai dengan saat ini, karena perjanjian internasional, kebiasaan internasional, prinsip-prinsip hukum umum dan yurisprudensi internasional yang mengatur tentang batas kedaulatan wilayah udara secara vertikal belum ada, maka beberapa sarjana terkemuka khususnya ahli hukum udara berusaha untuk membuat beberapa konsep (teori, ajaran atau pendapat) yang mungkin dapat digunakan sebagai landasan pembuatan peraturan tentang batas ketinggian kedaulatan negara di ruang udara, yaitu misalnya konsep dari :
a) Beaumont dan Shawcross yang menyebutkan bahwa batas ketinggian
kedaulatan negara di ruang udara adalah tidak terbatas.
b) Cooper yang menyebutkan bahwa batas ketinggian kedaulatan negara di ruang udara adalah setinggi negara itu dapat menguasainya.
c) Holzendorf yang menyebutkan bahwa batas ketinggian kedaulatan negara di ruang udara adalah setinggi 1000 meter yang ditarik dari permukaan bumi yang tertinggi.
d) Lee yang menyebutkan bahwa batas ketinggian kedaulatan negara di ruang udara adalah sama dengan jarak tembakan meriam (canon theory).
e) Von Bar yang menyebutkan bahwa batas ketinggian kedaulatan negara di ruang udara adalah 60 meter dari permukaan bumi.
f) Priyatna Abdurrasyid yang menyebutkan bahwa batas ketinggian kedaulatan negara di ruang udara adalah setinggi sebuah pesawat udara konvensional sudah tidak dapat lagi melayang.
Pendapat Priyatna Abdurrasyid ini pernah ditentang dengan adanya Pasal 30 ayat 3 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 1982 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertahanan Keamanan Negara Republik Indonesia yang menyebutkan bahwa “T.N.I.- A.U. selaku penegak kedaulatan negara di udara mempertahankan wilayah dirgantara nasional ………. dstnya”.
Kata dirgantara berarti mencakup ruang udara dan antariksa (ruang angkasa) termasuk G.S.O. (Geo Stationer Orbit).
Dengan demikian pada waktu itu negara Indonesia tidak menganut pendapat Priyatna Abdurrasyid tetapi menganut pendapat Beaumont dan Showcross.
Dengan tidak adanya ketentuan-ketentuan hukum internasional yang mengatur tentang batas ketinggian wilayah udara yang dapat dimiliki oleh negara bawah, maka banyak negara-negara di dunia melakukan secara sepihak menetapkan batas ketinggian wilayah udara nasionalnya seperti yang dilakukan oleh negara Amerika Serikat melalui Space Command menetapkan batas vertikal udara adalah 100 kilometer.
Negara Australia di dalam Australian Space Treaty Act 1998 menetapkan batas ketinggian wilayah udaranya adalah 100 kilometer yang diukur dari permukaan laut.
Negara Korea Selatan mengusulkan dalam sidang UNCOPUOS 2003 bahwa batas ketinggian wilayah udara adalah antara 100 sampai dengan 110 kilometer.
Negara Rusia mengusulkan dalam sidang UNCOPUOS 1992 batas ketinggian wilayah udara adalah antara 100 sampai dengan 120 kilometer.
Sedangkan negara Indonesia pada Pasal 5 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan menyebutkan bahwa “Negara Kesatuan Republik Indonesia berdaulat penuh dan eksklusif atas wilayah udara Republik Indonesia”, serta pada Pasal 5 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 2008 tentang Wilayah Negara disebutkan bahwa “batas wilayah negara di darat, perairan, dasar laut dan tanah di bawahnya serta ruang udara di atasnya ditetapkan atas dasar perjanjian bilateral dan atau trilateral mengenai batas darat, batas laut, dan batas udara serta berdasarkan peraturan perundang-undangan dan hukum internasional”.
Mengenai batas wilayah di darat maupun di laut hampir sebagian besar telah dilakukan oleh negara Indonesia dengan negara-negara tetangga, tetapi tentang batas wilayah di udara secara vertikal belum ada baik itu dalam ketentuan hukum nasional maupun dalam perjanjian antar negara tetangga.
Pada Pasal 6 ayat 1 Rancangan Undang-Undang Republik Indonesia tentang Pengelolaan Ruang Udara Nasional menyebutkan sebagai berikut : “Batas vertikal pengelolaan ruang udara nasional sampai ketinggian 110 (seratus sepuluh) kilometer dari konfiguarsi permukaan bumi”.
Dengan demikian dapat terlihat adanya ketidak seragaman konsep di antara para sarjana terkemuka ataupun oleh negara-negara dalam menentukan batas ketinggian wilayah
udara yang dapat dimiliki oleh suatu negara bawah.
DAFTAR PUSTAKA
1. Boer Mauna., Hukum Internasional, Pengertian Peranan Dan Fungsi Dalam Era Dinamika Global, Bandung , Alumni, 2000.
2. E. Suherman., Wilayah Udara Dan Wilayah Dirgantara, Bandung : Alumni, 1984.
3. Evert Max. Tentua., Hukum Dirgantara, Perkembangan Dan Permasalahannya, Semarang, I.L.S., 2009.
4. Frans Likadja., Masalah Lintas Di Ruang Udara, Bandung, Binacipta, 1987.
5. K. Martono., Hukum Udara, Angkutan Udara Dan Hukum Angkasa, Bandung : Alumni, 1989.
6. Michael Akehurst., A Modern Introduction to International Law., London, Routledge, 1997.
7. Priyatna Abdurrasyid., Kedaulatan Negara Di Ruang Udara, Jakarta : P.T.H.A., 1972.
8. P.H. Kooijmans., Internationaal Publiekrecht in Vogelvlucht, Groningen, Wolters-Noordhoff bv. 1991.
9. P. van Heijnsbergen., Compendium van het Volkenrecht, Deventer, Kluwer, 1972.
10. Rebecca M.M. Wallace., International Law, London, Sweet & Maxwell, 1986.
11. Sulaiman Nitiatma., Hukum Internasional Teritorialitas, Semarang : CV. Indriajaya. 1995.

--------- max ---------

Read more...

PELEPASAN SOVEREIGN IMMUNITY SUATU NEGARA DALAM PENYELESAIAN SENGKETA MENURUT HUKUM INTERNASIONAL

PENDAHULUAN
Penyelesaian sengketa sudah menjadi suatu permasalahan yang sulit dan ramai dibincangkan di dalam hukum internasional, yaitu terutama mengenai dapatkah suatu negara asing yang berdaulat diajukan di depan pengadilan.
Telah banyak teori-teori yang ada untuk memecahkan masalah ini seperti teori imunitas absolut dan teori restriktif.
Adapun yang dimaksud dengan teori imunitas absolut yaitu menjamin kekebalan manakala diminta oleh negara yang berdaulat, sedangkan teori restriktif yaitu yang membedakan antara tindakan publik dan tindakan privat negara yang berdaulat. 1
Tetapi inipun masih menimbulkan suatu permasalahan yang rumit untuk menyelesaikannya guna demi terwujudnya tertib hukum internasional, mengingat adanya suatu kedaulatan imunitas yang dimiliki oleh suatu negara yang merdeka dan berdaulat.
PERMASALAHAN
Adapun permasalahan mengenai dapatkah suatu negara berdaulat diajukan di depan pengadilan, dengan pokok permasalahan sebagai berikut :
1. Bagaimanakah jika negara berdaulat sebagai penggugat ?
2. Bagaimanakah jika negara berdaulat sebagai tergugat ?
3. Bagaimanakah kedaulatan imunitas menurut Tate Letter dalam tidak adanya saran dari Departemen Luar Negeri terhadap imunitas ?
PEMBAHASAN
Setiap negara yang merdeka adalah sebagai subyek hukum internasional yang selalu memiliki kedaulatan yang tidak mengakui suatu kekuasaan yang lebih tinggi dari kekuasaannya sendiri yang ada di dalam batas-batas wilayahnya. 2
Ini merupakan suatu ciri pokok suatu negara yang berdaulat dengan memiliki yurisdiksi baik terhadap orang dan benda di dalam batas wilayahnya dan dalam semua perkara perdata maupun pidana yang timbul di wilayah tersebut, dan juga memiliki suatu imunitas yang tidak dapat dituntut atau digugat di muka pengadilan.
Dengan demikian dapat tidaknya suatu negara dituntut di hadapan forum pengadilan di negara asing tergantung dari adanya imunitas negara dalam status jure imperii atau jure gestionis, seperti yang dikemukakan oleh Hakim Fuller yaitu 3 :
“Every sovereign state is bound to respect the independency of every other sovereign state, and court of one country will not sit in judgment on the acts of the government of another done within its own territory”.
Keadaan ini didasari oleh teori Absolute immunity yang menyebutkan bahwa suatu negara secara mutlak kebal terhadap gugatan atau tuntutan di hadapan forum pengadilan begitu pula terhadap eksekusi dan penahanan, dengan kata lain par in parem non habet jurisdictionem. 4
Tetapi dalam perkembangan dari praktek negara-negara (yurisprudensi pengadilan) cenderung membuktikan bahwa teori imunitas absolut tersebut sudah tidak dipertahankan secara ketat, karena dapat meningkatkan pelanggaran hukum terhadap negara-negara lain. 5
Sebagai ganti dari teori imunitas absolut yaitu teori restriktif dari akibat dikeluarkannya Tate Letter 1952, yang mengumumkan suatu pergeseran kebijakan
Departemen Luar Negeri dari teori imunitas absolut ke teori restriktif.
Adapun yang dimaksud dengan teori restriktif yaitu perlindungan terhadap sesuatu negara dalam bentuk imunitas hanya diberikan apabila negara yang bersangkutan telah bertindak dalam kualitasnya sebagai suatu negara (sebagai suatu kesatuan politik) yang dalam keadaan inilah suatu negara berada dalam status jure imperii, dan sedangkan perlindungan tidak diberikan oleh suatu negara asing terhadap suatu kepentingan nasional apabila negara tersebut berada dalam status jure gestionis, yaitu sebagai pedagang yang melakukan suatu commercial act atau yang disebut sebagai tindakan privat. 6
Adanya teori restriktif seperti tersebut di atas ini masih tetap menimbulkan permasalahan di dalam penyelesaian masalah sengketa di depan pengadilan asing terhadap negara berdaulat dalam hal melakukan tindakan publik maupun dalam tindakan privat.
1. Negara Berdaulat Sebagai Penggugat :
Apabila suatu negara berdaulat secara suka rela mengajukan gugatan di pengadilan di negara lain, maka di sini negara penggugat dianggap sebagai telah menundukkan dirinya terhadap prosedur dan aturan-aturan keputusan yang mendasar srta yang menguasai forum dimana gugatan itu dimasukkan.
Dengan diajukan gugatan oleh negara berdaulat di suatu pengadilan negara lain, maka dianggap pula sebagai pelepasan yurisdiksi imunitas (kekebalan), akan tetapi imunitas dari eksekusi tidak sama-sama dilepaskan, lihat pada kasus National City Bank of New York v. Republic of China, 348 U.S. 356 (1955) dan kasus Et Ve Balik Kurumu v. B.N.S. Int’l Sales Corp, 204 N.Y.S. 2d 971 (Sup. Ct. 1960).
Di sini negara sebagai penggugat telah melepaskan imunitasnya, tetapi negara tergugat tetap memiliki imunitasnya selama tidak melakukan tindakan privat, dengan demikian teori imunitas absolut tetap berlaku di samping itu teori restriktif digunakan.
2. Negara Berdaulat Sebagai Tergugat :
Dalam hal negara berdaulat sebagai tergugat dapat dibagi dalam 2 (dua) hal yaitu sebagai berikut :
a. Penundukan diri negara terhadap yurisdiksi kedaulatan wilayah setelah perkara diajukan.
Penundukan diri ini dapat dilakukan secara terang-terangan dan diam-diam. Di dalam penundukan diri secara terang-terangan belum ditemukan kasusnya, tetapi penundukan diri secara diam-diam yaitu seperti dalam kasus Flota Maritima Browning de Cuba v. Motor Vessel Cindad de la Habana, 335 F. 2d 619 (4th Cir. 1964).
Mengenai penundukan diri setelah perkara diajukan yang dilakukan secara terang-terangan yaitu apabila negara yang berdaulat tersebut memang melepaskan imunitasnya melalui surat pernyataan, sedangkan yang dilakukan secara diam-diam yaitu apabila 7 :
i. Tidak adanya permintaan kedaulatan imunitas di pengadilan.
ii. Tidak adanya surat penegasan kedaulatan imunitas dari Departemen Luar Negeri.
iii. Telah melebihi dari waktu 2 (dua) tahun diajukannya perkara.
iv. Negara tergugat bersifat unfriendly power.
v. Negara tergugat melakukan transaksi komersial yang termasuk status jure gestionis.

b. Penundukan diri negara terhadap yurisdiksi kedaulatan wilayah sebelum perkara diajukan.
Penundukan diri inipun dapat dilakukan secara terang-terangan maupun diam-diam. Penundukan diri secara terang-terangan yaitu dapat melalui perjanjian internasional antara negara-negara atau melalui transaksi antara negara berdaulat dengan calon penggugat. 8
Penundukan diri secara terang-terangan ini tidak menimbulkan suatu permasalahan, karena memang telah diperjanjikan terlebih dahulu apabila terjadi suatu sengketa.
Berbeda dengan penundukan diri secara diam-diam, yaitu digunakan untuk mengalihkan dari teori imunitas absolut ke teori restriktif. Dasar pemikirannya adalah bahwa suatu negara yang berdaulat dengan memasuki suatu hubungan yang bersifat privat, maka dengan demikian menunjukkan adanya pelepasan imunitasnya, begitu pula seperti yang dianut oleh Pengadilan di negara Amerika Serikat. 9
3. Kedaulatan Imunitas Menurut Tate Letter Dalam Tidak Adanya Saran Dari Departemen Luar Negeri Terhadap Imunitas :
Suatu perbuatan yang dilakukan oleh suatu negara berdaulat yang tidak dapat diajukan ke muka pengadilan apabila melakukan perbuatan publik seperti 10 :
a. Perbuatan administrasi seperti pengusiran orang asing.
b. Perbuatan legislatif seperti nasionalisasi.
c. Mengenai perbuatan angkatan bersenjata.
d. Mengenai perbuatan aktivitas diplomatik.
e. Pinjaman-pinjaman negara.
Sedangkan di luar perbuatan seperti tersebut tersebut di atas ini masuk dalam kategori perbuatan privat, dimana dapat dilakuikan gugatan di muka pengadilan.
Tetapi di dalam praktek adakalanya terjadi suatu pengadilan menunggu saran dari badan Eksekutif khususnya dari Departemen Luar Negeri, karena pengadilan menghormati keputusan Eksekutif tersebut.
Di dalam Tate Letter disebutkan bahwa suatu pengadilan yang akan memutuskan mengenai gugatan negara yang berdaulat terhadap kedaulatan imunitas akan tetapi Departemen Luar Negeri tidak memberi saran dan ijin terhadap gugatan tersebut, maka diberikalah kebijakan kepada pengadilan untuk menggunakan teori restriktif, yaitu dimana pengakuan imunitas dihormati bila itu tindaskan politik (jure imperii) dari suatu negara, akan tetapi tidak dihormati apabila itu merupakan tindakan privat (jure gestionis) atau perbuatan yang bersifat commercial.
Perlu pula untuk diketahui bahwa imunitas tertentu saja yang diberikan kepada 11 :
a. Negara asing serta Kepala Negara asing.
b. Wakil-wakil diplomatik.
c. Public ships dari negara asing.
d. Angkatan bersenjata negara asing.
e. Lembaga-lembaga internasional.
KESIMPULAN
Suatu negara berdaulat dapat diajukan ke pengadilan apabila negara tersebut tidak bertindak sebagai suatu negara (kesatuan politik) melainkan sebagai pedagang yang melakukan commercial act atau yang disebut sebagai tindakan privat.
Jadi dapat disimpulkan bahwa kedaulatan imunitas suatu negara dapat ditinjau dari tindakan-tindakannya seperti tindakan publik atau tindakan privat.
DAFTAR CATATAN KAKI
1. Yudha Bhakti., Perkembangan Arti Kedaulatan Negara Dalam Praktek Internasional, Majalah Pro Justitia, F.H. Undap, Bandung, Nomor 17, Maret 1982, hlm. 27., 26 Dep’t State Bull. 984 (1952).
2. Mochtar Kusumaatmadja., Pengantar Hukum Internasional, Buku I – Bagian Umum, Binacipta, Bandung, Oktober 1981, hlm. 17.
3. Sudargo Gautama., Segi-Segi Hukum Internasional Pada Nasionalisasi Di Indonesia, Alumni, Bandung, 1975, hlm. 43.,
4. J.G. Starke., Introduction to International Law, Butterworth, London, 1988, p. 195., H.F. van Panhuys., In the Borderland between the Act od State Doctrine and Questions of Jurisdictional Immunities, I.C.L.Q., Vol. 13, Oct 1964, p. 1195.
5. Sudargo Gautama., Hukum Perdata Dan Dagang Internasional, Alumni, Bandung, 1980, hlm. 4., H.F. van Panhuys., loc cit.
6. Sudargo Gautama., supra note 5, hlm. 4.

Read more...

Evert Max Tentua © Layout By Hugo Meira.

TOPO