Selamat Datang Di Evert Max Tentua`s Blog..Terima Kasih Atas Kunjungannya!

Wednesday 1 February 2012

PERMASALAHAN HUKUM YANG DITIMBULKAN DARI JATUHNYA BENDA ANGKASA TERHADAP SUATU NEGARA

Oleh : Evert Maximiliaan Tentua.
(member of international law studies club)


PENDAHULUAN
Diluncurkannya Sputnik pada tanggal 4 Oktober 1957 oleh Uni Soviet (Rusia) menandakan dimulainya abad ruang angkasa, dan kegiatan ini berkembang dengan pesat sampai dengan saat ini, dan hal ini sejalan semakin berkembangannya ilmu pengetahuan dan teknologi serta guna memenuhi kebutuhan manusia akan telekomunikasi, informatika dan penelitian ruang angkasa ataupun terhadap dunia.
Kegiatan peluncuran satelit ke ruang angkasa akan menempati orbitnya baik itu pada orbit rendah atau tinggi, tetapi pada umumnya banyak satelit ditempatkan di GSO (Geo Stationer Orbit) yang terletak pada garis khatulistiwa dengan ketinggian 36.000 kilometer.

PERMASALAHAN
Banyak satelit yang ditempatkan di ruang angkasa baik satelit komunikasi, penelitian atau militer atau yang menggunakan bahan bakar nuklir atau tidak bukanlah menjadikan permasalahan, dan yang menjadi permasalahan yaitu permasalahan hukum yang ditimbulkan apabila satelit yang tidak berfungsi karena malfunction atau habis masa kerjanya jatuh ke bumi khususnya terhadap suatu negara ?

PEMBAHASAN
Seperti diketahui bahwa ketentuan hukum internasional yang mengatur tentang kegiatan manusia di ruang angkasa yaitu antara lain telah diatur dalam Treaty on Principles Governing the Activities of States in the Exploration and Use of Outer Space, including the Moon and Other Celestial Bodies (Space Treaty 1967), Agreement on the Rescue of Astronauts, the Return of Astronauts and the Return of Objects Launched into Outer Space (Rescue Agreement 1968), Convention on International Liability for Damage Caused by Space Objects (Liability Convention 1972), Convention on Registration of Objects Launched into Outer Space (Registration Convention 1975) serta Agreement Governing the Activities of States on the Moon and Other Celestial Bodies (Moon Agreement 1980).
Ketentuan internasional yang berkaitan erat dengan masalah jatuhnya benda angkasa seperti antara lain diatur pada :
1. Space Treaty 1967 :
Space Treaty 1967 adalah merupakan Magna Charta dalam mengeksplorasi dan eksploitasi ruang angkasa.
Pasal VI disebutkan bahwa “States Parties to the Treaty shall bear international responsibility for national activities in outer space, including the Moon and other celestial bodies, whether such activities are carried on by governmental agencies or by non-governmental entities, and ................”. Dan dari ketentuan ini maka terlihat bahwa setiap negara anggota perjanjian akan selalu bertanggung jawab secara internasional terhadap kegiatannya di ruang angkasa, baik itu yang dilakukan oleh badan pemerintah maupun non pemerintah.
Pada Pasal VII disebutkan bahwa “Each State Party to the Treaty that launches or procures the launching of an object into outer space, including the Moon and other celestial bodies, and each State Party from whose territory or facility an object is launched, is internationally liable for damage to another State Party to the Treaty or to its natural or juridical persons by such object or its component part on the Earth, in air space or outer space including the Moon and other celestial bodies”.
Dari ketentuan di atas ini dapat disimpulkan bahwa negara bertanggung jawab terhadap kerugian di wilayah negara lain baik terhadap orang, benda, lingkungan baik di udara, laut, daratan maupun terhadap ruang angkasa termasuk bulan dan benda-benda angkasa lainnya.
Jadi dengan demikian dapat disimpulkan bahwa setiap negara yang melakukan kegiatan di ruang angkasa selalu bertanggung jawab secara internasional atas kerugian yang ditimbulkannya di wilayah negara lain, orang, benda, lingkungan, di darat, laut, udara, ruang angkasa termasuk bulan dan benda-benda angkasa lainnya.
2. Liability Convention 1972 :
Liability Convention 1972 adalah merupakan penjabaran dari Pasal VII Space Treaty 1967 yang mengatur secara lebih rinci tentang masalah-masalah yang berkenaan dengan kerugian yang ditimbulkan akibat benda-benda angkasa, serta mengatur pula mengenai pertanggung jawaban internasional atas kerugian yang terjadi akibat jatuhnya pesawat angkasa.
Pasal II di sebutkan bahwa “A launching State shall be absolutely liable to pay compensation for damage caused by its space object on the surface of the Earth or ro aircraft in flight”, yang artinya negara peluncur harus bertanggung jawab secara mutlak untuk membayar ganti rugi atas kerugian yang disebabkan oleh benda angkasanya terhadap permukaan bumi atau terhadap pesawat udara dalam penerbangan.
Yang dimaksud dengan pengertian damage (kerugian) seperti yang diatur dalam ketentuan di atas ini telah diatur pada Pasal I item a yaitu yang berarti kematian, luka-luka atau bentuk lain terganggunya kesehatan seseorang atau hilangnya atau rusaknya harta milik negara atau milik pribadi, atau badan hukum atau harta benda organisasi internasional antar pemerintah”.
Pada Pasal III disebutkan bahwa “In the event of damage being caused else where than on the surfase of the Earth to a space object of one launching State or to persons or property on board such a space object by a space object of another launching State, the letter shall be liable only of the damage is due to its fault or the fault of persons for whom it is responsible” atau dengan kata lain dalam hal terjadi kerugian terhadap benda angkasa dari satu negara peluncur, personil atau benda-benda yang ada di dalam benda angkasa tersebut yang berada di luar permukaan bumi oleh benda angkasa milik negara peluncur lainnya, maka negara penyebab kerugian itu bertanggung jawab terhadap kerusakan hanya jika kerusakan tersebut disebabkan oleh kesalahannya atau kesalahan personil yang di bawah tanggung jawabnya.
Sedangkan pada Pasal IV ayat 1 disebutkan dalam hal kerugian terhadap benda angkasa negara peluncur atau terhadap personil atau benda yang berada dalam benda angkasa tersebut yang berada di luar permukaan bumi oleh benda angkasa milik negara peluncur lainnya, dan kerusakan tersebut berakibat pada negara ketiga atau terhadap orang-orang atau badan hukum yang secara yuridis berada di negara ketiga tersebut, kedua negara penyebab kerusakan harus bertanggung jawab secara bersama dan sendiri-sendiri terhadap negara ketiga dengan ketentuan sebagai berikut :
a. Bila kerugian pada negara ketiga terjadi pada permukaan bumi atau terhadap pesawat udara dalam penerbangan, maka kedua negara yang menyebabkan kerusakan bertanggung jawab mutlak terhadap negara ketiga.
b. Bila kerugian terjadi bukan pada permukaan bumi tetapi pada benda angkasa negara ketiga atau terhadap orang-orang atau benda yang berada dalam benda angkasa, maka tanggung jawab kedua negara yang menyebabkan kerusakan terhadap negara ketiga harus didasarkan pada kesalahan kedua negara penyebab kerusakan atau kesalahan personil di bawah tanggung jawab masing-masing kedua negara yang menyebabkan kerusakan tersebut.
Dari keempat pasal tersebut di atas ini dapat ditarik kesimpulan bahwa kerugian yang harus dipertanggung jawabkan secara internasional oleh negara peluncur adalah terhadap :
1. Manusia (individu atau perorangan).
2. Harta benda (milik negara, badan hukum atau organisasi internasional antar pemerintah).
3. Permukaan bumi.
4. Pesawat udara yang sedang dalam penerbangan.
5. Pesawat angkasa milik negara lain.
6. Badan hukum.
7. Lingkungan alam.
Sedangkan pada Pasal V menyebutkan bahwa :
1. “Bilamana dua atau lebih negara bersama meluncurkan sebuah benda angkasa, mereka secara bersama atau sendiri-sendiri bertanggung jawab atas setiap kerusakan yang disebabkan oleh mereka.
2. Negara peluncur yang telah membayar ganti rugi atau kerugian, mempunyai hak untuk menuntut penggantian kepada negara peserta lainnya yang ikut dalam peluncuran bersama tersebut. Negara peserta dalam suatu peluncuran bersama dapat membuat perjanjian tentang besarnya tanggung jawab keuangan yang menjadi kewajiban mereka terhadap hal-hal yang merupakan tanggung jawab mereka bersama atau tanggung jawab mereka sendiri-sendiri. Perjanjian tersebut harus tanpa mengurangi adanya hak satu negara yang menderita kerusakan untuk memperoleh semua ganti rugi berdasarkan konvensi ini dari setiap atau semua negara peluncur secara bersama dan atau sendiri-sendiri.
3. Negara yang wilayah atau fasilitasnya digunakan untuk meluncurkan benda angkaa harus dianggap sebagai peserta dalam peluncuran bersama”.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pihak-pihak yang bertanggung jawab atas kerugian akibat pesawat angkasa yaitu :
1. Negara peluncur.
2. Negara pemilik pesawat angkasa.
3. Negara-negara yang bekerjasama dalam proyek angkasa.
Yang dimaksud dengan negara peluncur (lauching state) adalah negara yang meluncurkan atau ikut berperan serta dalam pelaksanaan peluncuran benda angkasa (pesawat angkasa) serta negara yang wilayah atau fasilitasnya digunakan untuk peluncuran benda angkasa (Pasal I sub c Liability Convention 1972).
Dengan demikian Pasal V Liability Convention 1972 mengatur mengenai tanggung jawab secara tanggung renteng (joint and several liability) yang harus dilakukan oleh negara-negara yang berperan dalam pelaksanaan peluncuran benda angkasa.
Sedangkan adapun pihak-pihak yang dapat menjadi pihak penuntut diatur pada Pasal VIII yaitu :
1. “Negara yang menderita kerugian baik orang-orang pribadi atau badan hukum yang secara yuridis berada dibawahnya, dapat menuntut ganti rugi atas kerusakan tersebut kepada negara peluncur.
2. Bila negara yang warga negaranya menjadi korban atas peristiwa yang terjadi di negara lain (state of nationality) belum melakukan penuntutan, negaralain dapat melakukan penuntutan atas kerusakan yang dialami terhadap alam, orang, badan hukum yang secara yuridis berada diwilayahnya melakukan tuntutan kepada negara peluncur.
3. Bila negara yang warga negaranya menjadi korban, atau negara yang wilayahnya mengalami kerusakan belum mengajukan tuntutan atau belum memberitahukan akan mengajukan tuntutan, negara lain, dengan memperhatikan kerusakan yang dialami oleh penduduk tetap, dapat mengajukan tuntutan kepada negara peluncur”.
Dengan demikian terlihat bahwa hanya negara saja yang dapat menuntut ganti rugi atau negara sebagai wakil dari warga negaranya yang menderita kerugian.
Tuntutan ganti rugi dilakukan dengan pembayaran kompensasi yaitu dapat melalui lembaga-lembaga yang telah ditentukan oleh Pasal IX yang menyebutkan :
“Tuntutan ganti rugi kepada negara peluncur atas kerugian, harus diajukan melalui saluran diplomatik. Bila negara tersebut tidak mempunyai hubungan diplomatik dengan negara peluncur, negara tersebut dapat meminta negara lain untuk mengajukan tuntutan terhadap negara peluncur atau dengan catatan menyatakan maksudnya atas dasar konvensi ini. Negara tersebut dapat juga mengajukan tuntutannya melalui Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa dengan ketentuan keduanya adalah anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa”.
Dengan demikian untuk melakukan tuntutan ganti rugi dapat dilakukan dengan melalui :
1. Saluran diplomatik.
2. Melalui negara lain apabila negara penuntut tidak memiliki hubungan diplomatik.
3. Melalui Sekretaris Jenderal Perseriatan Bangsa-Bangsa dengan syarat bahwa negara yang dituntut juga harus sebagai anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Pada Pasal X mengatur mengenai masalah besarnya ganti rugi yang tidak diketahui besar jumlahnya, maka pihak negara penuntut memiliki waktu 1 (satu) tahun sampai besarnya kerugian diketahui sehingga dapat memperbaiki tuntutannya dan mengajukan dokumen tambahan.
Ketidak tahunan besarnya ganti rugi ini adalah wajar, karena jenis-jenis kerugian tertentu seperti yang diakibatkan oleh kontaminasi biologi, radiology, kimia atau bahan nuklir tidak akan segera tampak tetapi akan tampak dalam waktu yang lama, contoh kasus jatuhnya satelit Cosmos 954 yang membawa bahan uranium seberat 110 kilogram milik negara Rusia (d/h Uni Soviet) di daerah hutan tundra yang bersalju di wilayah territorial negara Kanada pada tanggal 4 Januari 1978.
KESIMPULAN
Permasalahan hukum yang timbul dari akibat jatuhnya benda angkasa terhadap suatu negara yang berupa suatu kerugian terhadap warga negaranya (individu atau perorangan), harta benda (milik negara, badan hukum atau organisasi internasional antar pemerintah), permukaan wilayah darat, laut dan udara serta pesawat udaranya yang sedang dalam penerbangan, pesawat angkasanya dan lingkungan alam di wilayah negaranya yaitu sulitnya menentukan besarnya jumlah ganti rugi dan waktu yang diberikan untuk melakukan penuntutan .
DAFTAR PUSTAKA
Carl Q. Christol., The Modern International Law of Outer Space, Pergamon Press : USA, 1982.
Evert Maximiliaan Tentua., Hukum Dirgantara Dalam Perkembangan Dan Permasalahannya, Semarang : I.L.S., 2009.
Nicolas M. Matte., Aerospace Law, The Carswell Co : Toronto, 1969.
Priyatna Abdurrasyid., Pengantar Hukum Ruang Angkasa Dan “Space Treaty 1967”, Binacipta : Bandung, 1977.
_________________., Hukum Antariksa Nasional (Penempatan Urgensinya), Rajawali Pers : Jakarta, 1989.
Saefullah Wiradipradja, dkk., Hukum Angkasa Dan Perkembangannya, Remadja Karya : Bandung, 1988.
United Nations., United Nations Treaties and Principles on Outer Space, United Nations Publication : New York, 2002.

Read more...

Evert Max Tentua © Layout By Hugo Meira.

TOPO